Paling tidak, ada lima
kekuatan yang harus kita bangun pada umat kita ini untuk bisa mengatasi
persoalan dan membangun kehidupan yang lebih baik pada masa-masa mendatang.
1. Kekuatan aqidah, iman atau tauhid kepada Allah SWT. Nabi Ibrahim as telah mencontohkan kepada kita bagaimana aqidah begitu
melekat pada jiwanya sehingga ia berlepas diri dari siapa pun dari kemusyrikan,
termasuk orang tuanya yang tidak mau bertauhid kepada Allah SWT sebagaimana
disebutkan dalam firman-Nya:
“Sesungguhnya Telah ada suri teladan yang
baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan Dia; ketika mereka
Berkata kepada kaum mereka: “Sesungguhnya kami berlepas diri daripada kamu dari
daripada apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan
Telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya
sampai kamu beriman kepada Allah saja.” (QS Al Mumtahanah [60]:4).
Salah satu dampak positif dari
aqidah yang kuat akan membuat seorang mukmin memiliki prinsip yang tegas dalam
setiap keadaan, dia tidak lupa diri pada saat senang, baik senang karena harta,
jabatan, popularitas, pengikut yang banyak maupun kekuatan jasmani dan ia pun
tidak putus asa pada saat mengalami penderitaan, baik karena sakit, bencana
alam, kekurangan harta maupun berbagai ancaman yang tidak menyenangkan, inilah
yang membuatnya menjadi manusia yang mengagumkan, Rasulullah saw bersabda:
Menakjubkan urusan orang beriman,
sesungguhnya semua urusannya baik baginya dan tidak ada yang demikian itu bagi
seseorang selain bagi seorang mukmin. Kalau ia memperoleh kesenangan ia
bersyukur dan itu baik baginya. Kalau ia tertimpa kesusahan, ia sabar dan itu
baik baginya (HR. Ahmad dan Muslim).
2. Akhlaq yang mulia. Kondisi akhlaq masyarakat kita
sekarang kita akui masih amat memprihatinkan, bila ini terus berlangsung, cepat
atau lambat yang lemah dan hancur bukan hanya diri dan keluarga, tapi juga umat
dan bangsa. Seorang ulama Mesir yang wafat tahun 1932 M yang bernama Syauqi Bey, menyatakan
:
Suatu bangsa akan kekal
selama berakhlaq, bila akhlaq telah lenyap, lenyaplah bangsa itu.
Karena itu melanjutkan misi
Nabi Muhammad saw memperbaiki akhlaq menjadi sesuatu yang amat penting. Profil
Nabi Ibrahim dan keluarganya serta dari ibadah haji yang harus ditunaikan oleh
kaum muslimin sekali seumur hidupnya adalah menjauhi segala bentuk keburukan
dan melakukan segala bentuk kebaikan. Kesimpulan ini kita ambil dari larangan
melakukan keburukan bagi jamaah haji, Allah SWT berfirman:
“(Musim haji) adalah beberapa bulan yang
dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan
haji, maka tidak boleh mengerjakan rafats (perkataan maupun perbuatan yang
bersifat seksual), berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa
mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah
mengetahuinya. Dan berbekallah kamu, sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah
taqwa, dan bertaqwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.” (QS
Al Baqarah [2]:197)
Akhlaq mulia tercermin dari
jawaban Ismail as yang meskipun begitu siap untuk melaksanakan perintah Allah SWT berupa penyembelihan dirinya, namun ia tidak mengklaim dirinya sebagai
orang yang paling baik atau paling sabar, tapi ia merasa hanyalah bagian dari orang-orang
yang sabar karena generasi terdahulu juga sudah banyak yang sabar, Allah swt
menceritakan masalah ini dalam firman-Nya:
Maka tatkala anak itu sampai (pada umur
sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku
Sesungguhnya Aku melihat dalam mimpi bahwa Aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah
apa pendapatmu!” ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan
kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang
sabar”.(QS Ash Shaffat [37]:102).
3. Kekuatan ilmu. Umat Islam harus menguasai ilmu
pengetahuan, bukan mencari ilmu sekadar untuk mendapat gelar kesarjanaan,
bahkan yang lebih tragis adalah gelar kesarjanaan sudah disandang, tapi tidak
ada ilmu yang dikuasai dan diamalkanya. Oleh karena itu menuntut ilmu tidak
hanya diwajibkan, tapi diberi keutamaan yang amat besar dan banyak. Generasi
Ibrahim adalah generasi yang cinta akan ilmu, karena itu ia mencarinya, di
manapun ilmu itu berada, tanpa ada perasaan puas dalam mendapatkannya, bahkan
ilmu yang didapatnya menyatu ke dalam jiwa, sikap dan tingkah lakunya, Allah
swt berfirman:
Dan ingatlah hamba-hamba Kami: Ibrahim,
Ishaq dan Ya’qub yang mempunyai perbuatan-perbuatan yang besar dan ilmu-ilmu
yang Tinggi (QS Shad [38]:45).
Oleh karena itu, harus kita
sadari bahwa amat sedikit ilmu yang kita kuasai, namun yang amat disayangkan
adalah begitu banyak orang yang malas menuntut ilmu, apalagi ilmu agama Islam,
padahal ajaran Islam harus kita amalkan dan bagaimana mungkin kita akan
mengamalkannya bila memahami saja tidak, akibatnya banyak orang yang hanya
ikut-ikutan (taklid) dalam beramal, padahal ini merupakan sesuatu yang
tidak dibenarkan, Allah SWT berfirman:
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu
tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan
dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. (QS Al Isra
[17]:36).
4. Ukhuwah Islamiyah. Dalam ibadah haji, kaum muslimin
dari seluruh dunia dengan berbagai latar belakang yang berbeda bisa bertemu,
berkumpul dan beribadah di tempat yang sama, bahkan dengan pakaian yang sama.
Ini semua seharusnya sudah cukup untuk memberi pelajaran betapa persaudaraan
antar sesama kaum muslimin memang harus kita bangun. Bila ukhuwah Islamiyah
terwujud dalam kehidupan kita, maka sebagai umat kita punya kekuatan dan
kewibawaan, berbagai persoalan umat bisa dipecahkan, kualitas umat bisa
diperbaiki dan ditingkatkan serta musuh-musuh Islam bisa dihadapi, bahkan
mereka akan takut melihat kekuatan umat yang luar biasa. Tapi karena ukhuwah
umat belum terwujud, maka jadilah umat ini seperti buih di tengah lautan yang
terus mengikuti ke mana beriaknya ombak bukan seperti karang yang memecahkan
ombak. Karena itu peribadatan dalam Islam pada hakikatnya menyadarkan setiap
muslim dan muslimah sebagai bagian dari umat Islam sedunia dan merupakan salah
satu anggota masyarakat Islam sedunia yang tidak boleh berlepas diri dari
persoalan-persoalan dunia Islam. Begitulah yang kita peroleh dari ibadah
shalat, zakat, puasa dan apalagi haji.
Dalam konteks kehidupan kita
sekarang, mungkin saja kita berbeda-beda suku dan bangsa, organisasi sosial dan
politik, bahkan dalam kelompok-kelompok aliran atau pemahaman keagamaan, tapi
semua itu seharusnya tidak membuat kita menjadi begitu fanatik lalu merasa
benar sendiri dan menganggap kelompok lain sebagai kelompok yang salah. Harus
kita ingat bahwa ukhuwah merupakan bukti keimanan dan bila ini belum kita
wujudkan pertanda lemahnya keimanan yang kita miliki, Allah SWT berfirman:
Sesungguhnya orang-orang beriman itu
bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu
itu dan bertaqwalah Allah, supaya kamu mendapat rahmat (QS Al Hujurat [49]:10).
5. Kekuatan ekonomi. Ini pelajaran yang bisa kita
ambil dari Nabi Ibrahim as beserta keluarganya yang mau berusaha untuk mencari
rizki yang halal, bukan menghalalkan segala cara. Kesulitan hidup tidak bisa
dijadikan alasan untuk menghalalkan segala cara dalam mencari harta, apalagi
kita memang tidak sesulit generasi terdahulu dalam memperoleh rizki. Keyakinan
bahwa Allah punya maksud baik dan rizki di tangan-Nya membuat manusia
seharusnya mau berusaha semaksimal mungkin untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Siti Hajar berusaha mencari rizki yang dalam rangkaian ibadah haji disebut
dengan sa’i. Oleh karena itu Allah SWT senang kepada siapa saja yang berusaha
secara halal meskipun harus dengan susah payah, Rasulullah saw bersabda:
Sesungguhnya Allah cinta (senang) melihat
hambanya lelah dalam mencari yang halal (HR. Ad Dailami).
Usaha yang halal meskipun
sedikit yang diperoleh dan berat memperolehnya merupakan sesuatu yang lebih
baik daripada banyak dan mudah mendapatkannya, tapi cara memperolehnya adalah
dengan mengemis yang hanya akan menjatuhkan martabat pribadi. Bila mengemis
saja sudah tidak terhormat apalagi bila mencuri atau korupsi dan cara-cara yang
tidak halal lainnya. Rasulullah saw bersabda:
Seseorang yang membawa tambang lalu pergi
mencari dan mengumpulkan kayu bakar, lantas dibawanya ke pasar untuk dijual dan
uangnya digunakan untuk mencukupi kebutuhan dan nafkah dirinya, maka itu lebih
baik daripada seorang yang meminta minta kepada orang-orang yang terkadang
diberi dan kadang ditolak (HR. Bukhari dan Muslim).